PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PRA MODERN

Ottoman_miniature_painters

 

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM PRAMODERN

 

Paper ini membahas tentang Pemikiran Pendidikan Islam yang berkembang pada periode pramodern. Pemikiran pendidikan mencakup aspek paradigma atau landasan filosofis, tujuan, kurikulum dan manajemen pendidikan. Kajian pemikiran pendidikan Islam tersebut terefleksi melalui pemikiran para tokoh/ ilmuwan maupun catatan sejarah dinamika perkembangan institusi/ lembaga-lembaga pendidikan yang menonjol dan mewakili zamannya.

Periode pramodern ini mengikuti periodisasi Fazlur Rahman (1982), dengan ciri utama pemurnian Islam. Rahman membagi pemikiran pendidikan Islam menjadi 3 fase: pramodern, modern klasik dan kontemporer. Pemikiran pendidikan Islam pramodern memiliki cirri utama pemurnian Islam. Pada periode modern klasik, sekalipun masih memiliki ciri ideologi keagamaan dari periode pramodernis, tetapi ilmu pengetahuan modern sekuler yang berkembang saat itu mendapatkan tempat dalam pengembangan pemikiran pendidikan Islam. Pada periode kontemporer, corak pemikiran Islam memiliki perkembangan yang lebih bermakna, ia lebih bersifat interpretative, yakni memahami prinsip-prinsip al_qur’an dan sunnah untuk memecahkan masalah baru dengan pendekatan hermeunetik.

Berikut ini uraian tentang pemikiran pendidikan Islam yang berkembang di Saudi Arabia, Mesir, Pakistan dan Turki (periode pramodern).

 

  • PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SAUDI ARABIA (Wahabiyah)

Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari Nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oelh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu, bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik yang terdapat di Kerajaan Ustmani dan Kerajaan Mughal. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam 1) Harun Nasution (1984: 23).

Di setiap negara Islam yang dikunjunginya, Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam sekh atau walinya masing-masing. Ke makam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan di sana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk menyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut pajam Wahabiyah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.

Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam . oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai berikut.

  1. Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik,
  2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan sebagai musyrik,
  3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan sebagai syirik.
  4. Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syirik.
  5. Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik.
  6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran.
  7. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran.
  8. Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.

Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan.

Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut.

  1. Hanya Alquran dan hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama bukanlah sumber.
  2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
  3. Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup.

Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.

 

  • PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI MESIR

Sekilas tentang Mesir

Mesir adalah negara yang kaya dengan sejarah dan berbagai peninggalannya sesuai dengan kurun waktu yang telah dilaluinya, yaitu zaman Fir’aun, zaman Romawi/ Masehi dan zaman Islam. Mesir merupakan wilayah dunia Islam yang mempunyai posisi penting karena letak geografisnya yang strategis. Pada tahun 1182-1187 H/1768-1772 M, Mesir di perintah oleh ‘Ali Bek al-Kabir, seorang penguasa berasal dari Mamluk. Dia mengumumkan kemerdekaan Mesir serta menggabungkan Hijaz dan Syuriah kedalam wilayahnya.

Pada tahun 1213-1216 H/1798-1801 M, pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte menguasai Mesir. Pemikiran dan pembaharuan Islam di Mesir pada periode modern ditokohi oleh cukup banyak pemikir, antara lain: Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang bermodel reformisme Barat. Dia mempertautkan ekonomi Mesir dengan Eropa. at-Tahtawi (1801-1873) memiliki pandangan bahwa rahasia pertumbuhan Eropa terletak pada pikiran orang-orangnya yang bebas untuk berfikir secara kritis, mengubah kebijakan lama dan menerapkan ilmu dan teknologi modern untuk menyelesaikan masalah. Jamaluddin al-Afgani (1839-1897) yang mencoba menanamkan kembali kepercayaan kepada kekuatan sendiri dengan melepas baju apatis dan putus asa, Muhammad Abduh (1849-1905) yang mengumandangkan panggilan jihad melawan penjajah , dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935) yang membangkitkan ruh jihad dan ijtihad, mengumandangkan kembali kepada Quran dan Sunnah, sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari kelemahan dan kehinaan posisi.

Secara garis besar isi pemikiran mereka diantaranya mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, social, dan ekonomi, memberantas tahayul dan bid’ah yang masuk ke dalam ajaran Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam, menghilangkan faham salah yang dibawa oleh tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik Negara Barat.

Islam di Mesir

Islam masuk Mesir dibawa oleh Amru bin Ash  pada tahun 641 M. Islam diterima di Mesir dengan cara damai dan tanpa melalui peperangan. Rakyat mesir dikala itu menganut Kristen aliran Coptic (baca : Koptik) yang mempercayai akan kehadiran agama baru “Islam”. Amru bin Ash menjadikan kota Fushtat (sekarang bernama old Egypt/Mesir lama) sebagai pusat kota pada masanya.

Selama masa Islam berjaya di Mesir, terjadi pula peristiwa perang Salib yang diantaranya berkecamuk di wilayah Mesir, dengan panglima terkenalnya Shalahuddin Al-Ayyubi. Kini benteng peninggalan perang Salib itu masih berdiri kokoh dan dilestarikan dengan nama Benteng Shalahuddin/ Citadel.

Mesir bukanlah sekedar wilayah geografis. Mesir adalah pencipta peradaban. Inilah yang menyebabkan Mesir dijuluki sebagai induk bumi (the mother of the earth). Negeri ini hanya berwujud sebuah garis tipis sepanjang lembah sungai Nil sementara sisanya merupakan gurun pasir yang tidak bisa dihuni. Persoalan bukan terletak pada luas daerah, melainkan pada semangat orang-orang yang menghuninya. Garis tipis tersebut menciptakan nilai-nilai moral, konsep monoteisme, kesenian, sains, dan sistem administrasi yang mengagumkan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan rakyat Mesir bisa bertahan di saat kebudayaan negeri-negeri lain musnah.

Islam masuk ke Mesir membawa kepercayaan Semitik yang baru bagi rakyat Mesir. Keadilan dan kesetaraan seluruh umat manusia, misalnya landasan prinsip Islam. Islam tidak membedakan warna kulit, etnis, ataupun kekayaan. Di hadapan Tuhan, penguasa dan subjek peribadatan setiap orang setara. Mesir tetap mempertahankan beberapa karakter asli setelah penaklukan Islam. Islam merekonstruksi karakter rakyat Mesir tanpa melenyapkan akar-akarnya. Pengaruh Islam pada rakyat Mesir melebihi apapun yang terjadi di Mesir sejak masa Fira’un.

Mesir memberi suara baru pada Islam. Mesir tidak mengubah prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, tapi budaya Mesir memberi sebuah nafas baru. Sesuatu yang tidak bisa ditemukan di tanah Arab. Mesir mengembangkan Islam yang moderat, toleran, dan tidak ekstrem. Penduduk Mesir merupakan pemeluk yang saleh, tapi mereka tahu cara memadukan kesalehan dan kegembiraan, seperti yang telah dilakukan oleh nenek moyang di masa lampau. Rakyat Mesir merayakan hari raya dengan cerdas. Festival keagamaan dan bulan Ramadhan merupakan kesempatan untuk merayakan kehidupan.

Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Berbeda dengan Jamaluddin Al-Afghani, riwayat hidup Muhammad Abduh dapat diketahui baik dari karangannya sendiri maupun dari keterangan-keterangan orang lain, meliputi asal-usul Muhammad Abduh, pendidikannya semasa kecil dan dewasa, serta hal-hal lain mengenai dirinya sebelum ia terkenal sebagai pemimpin Islam di zaman modern.

Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.  Di desa mana tidak dapat diketahui pasti karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ada pula yang mengatakan ia lahir sebelum itu. Perbedaan pendapat itu timbul karena suasana kacau yang terjadi di akhir zaman Muhammad Ali (1805-1849). Kekerasan yang dipakai oleh penguasa-penguasa  Muhammad Ali dalam mengumpulkan pajak dari penduduk  desa menyebabkan petani-petani selalu pindah tempat untuk menghindarkan beban-beban berat yang dipikulkan atas diri mereka. Abduh Hasan Khairullah, bapak Muhammad Abduh, senantiasa pindah dari desa ke desa, dan dalam masa setahun ia dikatakan berkali-kali pindah. Ia akhirnya menetap di desa Mahallah Nasr dan membeli sebidang tanah.

Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki dan telah lama tinggal di Mesir. Ibu Muhammad Abduh menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibnu Al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah menikah dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa itu. Ketika menetap di Mahallah Nashr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan dan gendongan ibunya. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu bapak yang tidak ada hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh (59).

Muhammad Abduh disuruh belajar menulis dan membaca agar kemudian dapat membaca dan menghafalkan Al-Quran. Setelah mahir membaca dan menulis, ia pun diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal Al-Quran. Ia dapat menghafalnya dalam masa dua tahun. Kemudian ia dikirim ke Tanta untuk belaja agama di Masjid Syeikh Ahmad pada tahun 1862. Setelah dua tahun belajar bahasa Arab, nahu, saraf, fiqh dan sebagainya, ia merasa tak mengerti apa-apa. Muhammad Abduh mengatakan pengalamannya ini, “Satu setengah tahun saya belajar di Masjid Syeikh Ahmaddengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan menghafal istilah-istilah tentang nahu atau fiqh yang tak kita ketahui artinya. Guru-guru tak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti-arti istilah itu”1 (T. Al-Tanahi.ed., Muzakkirat Al-Imam Muhammad Abduh, Cairo, Dar Al-Hilal. Tt., hal 29. Dalam Harun Nasution hal 59). Metode yang dipakai pada waktu itu adalah metode menghafal luar kepala. Pengaruh metode ini masih terdapat di zaman kita sekarang terutama di sekolah-sekolah agama.

Karena tidak puas dengan metode menghafal luar kepala ini Muhammad Abduh akhirnya lari dan meninggalkan pelajarannya di Tanta. Ia pergi bersembunyi di rumah salah satu pamannya, namun setelah tiga bulan di sana dipaksa kembali ke Tanta. Karena yakin bahwa belajar itu tak akan membawa hasil baginya, ia pulang ke kampungnya dan berniat akan bekerja sebagai petani. Di tahun 1865, sewaktu ia berumur 16 tahun, ia pun kawin.

Tapi nasibnya rupanya akan menjadi orang besar. Niatnya untuk menjadi petani itu tak dapat diteruskannya. Baru empat puluh hari kawin, ia dipaksa orang tuanyakembali belajar ke Tanta. Muhammad Abduh pun meninggalkan kampungnya, namun bukannya pergi ke Tanta, malahan untuk bersembunyi lagi di rumah salah satu pamannya. Dan di sini ia bertemu dengan seorang yang merubah jalan hidupnya. Orang itu bernama Syeikh Darwisy Khadr, paman dari ayah Muhammad Abduh. Syeikh Darwisy Khadr telah pergi merantau ke luar Mesir dan belajar agama Islam dan tasawwuf (Tarikat Syadli) di Libia dan Tripoli. Setelah selesai pelajarannya ia kembali ke kampungnya.

Syeikh Darwisy Khadr kelihatannya tahu akan keengganan Muhammad Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Sebagaimana diceritakan sendiri oleh Muhammad Abduh,  ia pada waktu itu benci melihat buku. Buku yang diberikan Syeikh Darwisy Khadr kepadanya untuk dibaca, ia lemparkan jauh-jauh. Buku itu dipungut kembali oleh Syeikh Darwisy Khadr dan diberikan kepadanya. Akhirnya Muhammad Abduh membaca juga beberapa baris. Setiap habis satu kalimat,  Syeikh Darwisy Khadr memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang dikandung kalimat itu. Setelah beberapa hari membaca buku bersama-sama dengan cara yang diberikan pengetahuan. Ia sekarang mulai mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan mengetahui lebih banyak. Akhirnya ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajaran.

Setelah selesai belajar di sini, ia meneruskan studinya ke Al-Azhar pada tahun 1866. Sewaktu masih belajar di Al-Azhar, Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Di sinilah Muhammad Abduh untuk pertama kalinya bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani, ketika ia bersama dengan mahasiswa lain pergi berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-Azhar. Dalam pertemuan itu, Al-Afghani mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat Al-Quran. Kemudian ia berikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh.

Ketika Al-Afghani datang pada tahun 1871 untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh menjadi muridnya yang paling setia.  Ia mulai belajar falsafat di bawah pimpinan Al-Afghani. Di masa ini ia telah mulai menulis karangan-karangan untuk harian Al-Ahram yang pada waktu baru saja didirikan.

Tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar Alim. Ia mulai mengajar, pertama di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Di antara buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Mukaddimah Ibnu Khaldun dan Sejarah Kebudayaan Eropa karangan Guizot, yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857. Sewaktu Al-Afghani diusir dari Mesir tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik, Muhammad Abduh yang juga dipandang turut campur dlam soal ini, dibuang ke Cairo. Tahun 1880 ia boleh kembali ke Ibukota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “Al-Waqaai’ul Mishriyyah”. Pada waktu itu perasaan kenasionalan Mesir telah timbul. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh “Al-Waqaai’ul Mishriyyah” bukan hanya menyiarkan berita-berita resmi, tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan-kepentingan nasional Mesir.

Di dalam tentara, perwira-perwira yang berasal dari Mesir berusaha mendobrak control yang diadakan oleh perwira-perwira Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai tentara Mesir. Setelah berhasil dalam usaha ini, mereka di bawah pimpinan Urabi Pasya juga dapat menguasai pemerintahan. Pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan golongan nasionalis ini, menurut Inggris adalah berbahaya bagi kepentingannya di Mesir. Untuk menjatuhkan Urabi Pasya, Inggris tahun 1882 membom Alexandria dari laut, dan dalam pertempuran yang kemudian terjadi, kaum nasionalis Mesir dengan cepat dapat dikalahkan Inggris, dan Mesir pun jatuh ke bawah kekuasaan Inggris.

Dalam peristiwa ini yang disebut peristiwa revolusi Urabi Pasya, Muhammad Abduh turut memainkan peranan. Dan sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya ia ditangkap, dipenjarakan dan kemudian dibuang ke luar negeri pada akhir tahun 1882. Pada awalnya ia pergi ke Beirut, kemudian ke Paris. Tahun 1884 ia bersama-sama dengan Al-Afghani mengeluarkan “Al-Urwatul Wusqa”. Umur majalah ini tidak lama dan pada tahun 1885 Muhammad Abduh kembali ke Beirut via Tunis, dan mengajar di sana.  Tahun 1888, atas usaha-usaha teman-temannya, diantaranya ada orang Inggris, ia dibolehkan pulang kembali ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar karena pemerintah Mesir takut akan pengaruhnya kepada mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah. Tahun 1894, ia diangkat menjadi anggota Majlis A’la dari Al-Azhar. Sebagai anggota majlis ini, ia membawa perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan di tubuh Al-Azhar sebagai Universitas. Tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir, sebuah kedudukan tinggi yang dipegangnya sampai ia meninggal dunia tahun 1905.

Pemikiran Muhammad Abduh

Menurut Muhammad Abduh, sebab-sebab yang membawa kemunduran adalah faham jumud yang terdapat di kalangan ummat Islam. Jumud berarti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi faham jumud, ummat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Ummat Islam berpegang teguh pada tradisi.

Sikap ini, seperti diterangkan Muhammad Abduh dalam Al-Islam Din Al-Ilm Wal Madaniah.dibawa ke dalam tubuh Islam oleh orang-orang bukan Arabyang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam Islam, adat-istiadat dan faham-faham animisme mereka turut pula mempengaruhi ummat Islam yang mereka perintah. Di samping itu mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam Islam.Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan.

Mereka musuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan agar mudah diperintah. Untuk itu mereka bawa ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti pujaan-pujaan yang berlebihan pada syekh dan wali, kepatuhan membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta penyerahan bulat dalam segala-galanya ada qada dan qadar. Dengan demikian membekulah akal dan berhentilah pemikiran dalam Islam. Lama-kelamaan faham jumud meluas dalam masyarakat d I seluruh dunia Islam.

Ini merupakan bid’ah dan Muhammad Abduh berpendapat, seperti Muhammad Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, bahwa masuknya berbagai macam bid’ah ke dalam Islamlah yang membuat ummat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itulah yang mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya.

Menurut Muhammad Abduh, tidak cukup hanya kembali ke ajaran-ajaran asli, seperti yang dianjurkan Muhammad Abd Wahab. Ajaran-ajaran asli tersebut perlu disesuaikan dengan keadaan jaman modern sekarang karena jaman dan suasana ummat Islam sekarang telah jauh berubah.

Untuk menyesuaikan dasar-dasar dengan jaman sekarang perlu diadakan interpretasi baru dan untuk itu pintu ijtihad perlu dibuka. Dengan itu taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan dan musti diperangi.

Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalanyang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.

Kepercayaan  pada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.Faham ini dapat dilihat di dalam Risalah At-Tauhid. Ummat Islam harus mengutamakan pendidikan.Ia juga memikirkan sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Dalam bidang ketatanegaraan Muhammad Abduh juga berpendapat kekuasaan Negara harus dibatasi. Kesadaran rakyat dapat dibangunkan dengan pendidikan di sekolah-sekolah, penerangan dalam surat kabar dan sebagainya.

Murid dan Pengikut Muhammad Abduh

Di antara murid-murid Muhammad Abduh terdapat ulama-ulama Al-Azhar seperti Al-Syaikh Muhammad Bakhit, Al-Syaikh Mustafa Al-Maraghi dan Al-Syaikh Ali Surur Al-Zankaluni, pengarang yang mementingkan soal agama, seperti Muhammad Farid Wajdi dan Al-Syaikh Tantawi Jauhari, penulis yang mementingkan soal kemasyarakatan seperti Qasim Amin, pemimpin-pemimpin politik seperti Sa’ad Zaghlul dan Ahmad Luthfi Al-Sayyid dan sastrawan-sastrawan Arab, seperti Ahmad Taimur, Al-Sayyid Mustafa Luthfi al-Manfaluti dan Muhammad Hafiz Ibrahim. Di antara pengikut-pengikut Muhammad Abduh terdapat Muhammad Husain Haikal, Mustafa Abd. Al-Raziq, Taha Husain dan Ali Abd Al-Raziq.

 

  • PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI PAKISTAN

Pendidikan agama Islam di Pakistan terbagi kepada tiga kategori :

  1. Quranic School, sekolah dimana anak-anak belajar membaca Al-quran (baca: belajar iqra’). Tempat biasanya di masjid-masjid atau mushalla desa. Waktu belajar tidak teratur dengan jelas. Ada yang pagi, siang dan sore. Ustadz yang mengajar biasanya berasal dari desa tersebut.
  2. Mosque Primary School, yaitu masjid dijadikan tempat belajar bagi anak-anak yang sudah berumur 7 tahun keatas. Inisiatif ini resmi dilakukan oleh pemerintah Zia-ul-Haq pada tahun 80an untuk mengatasi minimnya tempat belajar di pedesaan disebagian tempat di Pakistan. Selain belajar Al-quran mereka juga diajarkan oleh imam masjid setempat mata pelajaran bahasa urdu dan matematika. Namun pendidikan ini sering terkendala disebabkan para imam jarang yang menguasai bahasa urdu dan matematika dengan baik, yang akhirnya kebanyakan sekolah gulung tikar. Sekarang jumlah Mosque Primary School diseluruh Pakistan sekitar 25.000 buah sekolah.
  3. Madrasah. Madrasah di Pakistan berbeda dengan pesantren di Indonesia. Di Indonesia para santri tidak diwajibkan untuk manghafal Alquran seluruhnya, kecuali pesantren tersebut pesantren hifzul Alquran. Berbeda dengan di Pakistan, madrasah mewajibkan kepada murid-muridnya untuk menghafal Al-quran 30 juz sebelum belajar materi-materi lain. Karena al-quran merupakan asas bagi pelajar yang ingin mendalamkan ilmu agama.

 

  • PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI TURKI

Sekilas Tentang Kerajaan Turki Utsmani

Pendiri bangsa ini adalah Bangsa Turki dan kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina dalam masa waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke-TurkistanPersia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke 9 atau ke 10 di bawah pimpinan Ortoghol. Mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin, Sultan Seljuk yang kebetulan berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin memperoleh kemenangan. atas jasa baik mereka itu, Alaiudin menghadiahkan sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukut sebagai Ibu kota. kemudian Orthogol meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya Utsman.Orthogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani.

Sebelum meninggal, Utsman menunjuk (untuk menggantikan posisinya) yang lebih muda dari pada kedua anaknya, Orkhan yang berusia 42 tahun, yang lebih dididik seorang prajurit dibawah pengawasan ayahnya, dan telah menunjukan kemampuannya didalam banyak peperangan, terutama didalam penaklukan Brusa.

Kerajaan Utsmani sangat gencar melakukan ekspansi guna meluaskan kekuasaannya, sehingga pada masa Orkhan sebagian dari wilayah Eropa telah ditundukan. Kerajaan ini telah mencapai gemilang bermula sejak awal abad ke 16 sewaktu Salim mengalahkan kekuatan Syafawi dan meluaskan wilayah keselatan sampai Mesir dan Hijaz. Kawasan ini memiliki arti penting dalam kehidupan keagamaan umat islam secara umum.

Wilayah kekuasaan Utsmani sejak abad ke 16 sangatlah luas, membentang dari BudepestYaman, dibagian selatan dan dari Basrah dibagian timur hingga ke Aljajair dibagian barat itu, dibagi dalam beberapa provinsi yamg masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur atau pasha.

Sampai abad ke 17, Turki Utsmani menikmati masa keemasan. Kekuatan militer Utsmani yang sangat tangguh menunjukan stabilitas kekuasaan. Kejayaan Utsmani mulai kelihatan pudar setelah sultan sulaiman meninggal dunia, yang mengakibatkan terjadinya perebutan kekuasaan antara putra-putranya.

Pada awal abad ke 18, Turki Utsmani berusaha mengembalikan kejayaan dengan melakukan reform yang sangat gencar. Bahkan Sultan Salim III (w. 1807) membuka sejumlah kedutaan Utsmani di Eropa. Kemudian Mahmud II (w. 1839) memperkenalkan berbagai lembaga pembaharuan yang banyak diilhami dari Barat, termasuk pendidikan, militer, ekonomi dan hukum. Priode ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai priode “Reorganisasi”. Berbagai usaha pembaharuan terus dilakukan oleh orang-orang Turki, baik dari kalangan ulama, kaum muda, cendikiawan maupun birokrat hingga abad ke 20.

Kerajaan Utsmani yang menjadi simbol Islam akhirnya hilang dari peredaran dunia dengan dihapusnya gelar khalifah tersebut. Dibawah kekuasaan Musthafalah pengaruh kekuasaan Sultan berakhir ditahun 1922, dan segera setelah itu khalifah sebagai institusi agamapun dihapus sehingga Musthafa sebagai pemimpin besar menjadi presiden pertama dari republik Turki baru. Dengan demikian berakhirlah kehidupan panjang dan seluruh kebesaran seluruh pemerintahan baru.

Pendidikan Pada Masa Turki Utsmani

Setelah mesir jatuh dibawah kekuasaan Utsmaniyah Turki, lalu Sultan Salim memerintahkan, supaya kitab-kitab diperpustakaan dan barang-barang yang berharga di Mesir dipindahkan ke Istanbul. Anak-anak Sultan Mamluk, Ulama-Ulama, Pembesar-Pembesar yang berpengaruh di Mesir, semuanya dibuang ke Istambul, setelah mengundurkan diri sebagai khalifah dan menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sultan Turki.

Dengan demikian Sultan Turki memegang dua kekuasaan: kekuasaan sebagai Sultan dalam urusan duniawi dan kekuasaan sebagai Khalifah dalam urusan agama. Dengan berpindahnya ulama-ulama dan kitab-kitab perpustakaan dari Mesir ke Istanbul, maka Mesir menjadi mundur dalam ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan berpindah ke Istanbul, tempat kedudukan Sultan dan Khalifah.dan Istambullah yang menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan saat itu.

Selain itu Sultan Salim mengumpulkan kepala-kepala perusahaan yang termashur di Mesir berjumlah kurang lebih 1000 orang banyaknya. Semua mereka dipindahkan ke Istambul,Mesir terpaksa ditutup. Itulah salah satu sebab mundurnya perusahaan di Mesir pada masa Utsmaniyah Turki.

Setelah Sultan Salim wafat, lalu digantikan oleh anaknya Sultan Sulaiman Al-Qanuni (926-974 H. = 1520-1566 M). Pada masa Sultan Sulaiman itu kerajaan Utsmaniyah sampai kepuncak kebesaran dan kemajuan yang gilang gemilang dalam sejarahnya. Laut putih tengah, laut hitam, dan laut merah semua dalam kekuasaannya. Luas negaranya dari Makkah ke Budapes dan dari Baghdad ke Aljajair. Tetapi sesudah wafat Sultan Sulaiman kerajaan Utsmaniyah mulai mundur sedikit demi sedikit.

Pada masa Utsmaniyah Tuki pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran, terutama diwilayah-wilayah, seprti Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan madrasah pada masa Utsmaniyah Tuki ialah Sultan Orkhan (wafat tahun 761 H. = 1359 M.). kemudian diikuti oleh Sultan-Sultan keluarga Utsmaniyah dengan mendirikan madrasah-madrasah, yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Sultan-sultan pada masa Utsmaniyah banyak mendirikan masjid-masjid dan madrasah-madrasah terutama di Istambul dan Mesir. Tetapi tingkat pendidikan itu tidak mengalami perbaikan dan kemajuan sedikitpun. Pada masa itu banyak juga perpustakaan yang berisi kitab-kitab yang tidak sedikit bilangannya. Tiap-tiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guru-gru, ahli sejarah dan ahli syair pada masa itu. Tetapi mereka-mereka itu hanya mempelajari kaidah-kaidah ilmu-ilmu Agama dan Bahasa Arab, serta sedikit ilmu berhitung utuk membagi harta warisan dan ilmu miqat untuk mengetahui waktu sembahyang. Mereka tidak terpengaruh oleh pergerakan ilmiyah di Eropa dan tidak mau pula mengikuti jejak zaman kemajuan Islam pada masa Harun Ar-Rasyid dan masa Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam sejarah Islam. Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Utsmaniyah Turki, sampai jatuhnya sultan /khalifah yang terakhir tahun 1924 M.

Sistem pengajaran yang dikebangkan pada Turki Utsmani adalah menghafal matan-matan meskipun murid-murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal Matan Al-Jurmiyah, Matan Taqrib, Matan Al-Fiyah, Matan Sultan, dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan-matan itu barulah mempelajari syarahnya. Karena pelajaran itu bertambah berat dan bertambah sulit untuk dihafalkannya. Sistem pengajaran diwilayah ini masih digunakan sampai sekarang. Pada masa pergerakan yang terakhir, masa pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syiria (Tahun 1805 M) telah mulai diadakan perubahan-perubahan di sekolah-sekolah (Madrasah) sedangkan di Masjid masih mengikuti sistem yang lama.

Badri Yatim memberikan gambaran tentang kondisi ilmu pengetahuan pada masa Turki Utsmani sebagai berikut:

Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih banyak mefokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka kelihatan tidak begitu menonjol. Karna itulah dalam khazanah Intelektual Islam kita kita tidak menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. Namun demikian mereka banyak berkiprah dalam pengembangan seni arstektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammmadi, atau Masjid Jami Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman Dan Masjid Abi Ayyub Al-Anshari. Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yag indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid asalnya gereja Aya Sofia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar kristiani yang ada sebelumnya.

Meskipun pada masa Turki Utsmani pendidikan Islam kurang mendapat perhatian yang serius dan juga terhambat kemajuannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tiap-tiap masa pasti akan memunculkan tokoh-tokoh atau ulama-ulama kenamaan. Walaupun jumlah ulama pada masa itu tidak sebanyak pada masa Abbasiyah yang merupakan puncak keemasan Islam.

 

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Dari pembahasan pemikiran pendidikan Islam di Saudi Arabia, Mesir, Pakistan dan Turki dapat dilihat bahwa kesadaran akan kelemahan dan kemunduran ummat islam timbul pada diri pemimpin-pemimpin setelah adanya kontak langsung dengan dunia Barat di abad ke-delapanbelas. Kontak itu membuat mereka mengadakan perbandingan dengan dunia Islam yang sedang menurun dan dunia Barat yang sedang menaik.

Keadaan ini mendorong pemimpin-pemimpin Islam untuk menyelidiki sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran dan kelemahan ummat Islam dan selanjutnya memikirkan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kemajuan dan kebahagiaan. Di antara sebab-sebab kemunduran itu adalah:

  1. Islam yang dianut dan diamalkan ummat Islam bukan lagi Islam yang sebenarnya.
  2. Pemikiran di kalangan ummat Islam telah berkurang sekali karena pintu ijtihad telah dianggap tertutup.
  3. Ajaran zuhd mengalihkan perhatian ummat Islam dari hidup duniawi sekarang kepada kehidupan alam ghaib nanti.
  4. Pemerintahan absolute yang terdapat di dunia Islam abad pertengahan.

Dengan demikian menurut pemikiran para pembaharu itu hal-hal yang membawa kepada kemajuan adalah:

  1. Ummat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya,
  2. Sikap taklid depada pendapat dan penafsiran lama harus ditinggalkan dan pintu ijtihad dibuka.
  3. Dinamika di kalangan ummat Islam harus dihidupkan kembali.
  4. Orientasi keakhiratan ummat Islam harus diimbangi dengan orientasi keduniaan
  5. Pendidikan tradisional harus diubah
  6. Pemerintahan absolute harus diubah ke pemerintahan demokrasi

 

Referensi

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cetakan ke-3. Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Umat Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terj. Samson Rohman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.

Bernerdscayne, Negara Dan Bangsa, Terj. Tonies Rachmandie. Jakarta: Widyadara, 1999.

Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah Dan Kebudayan Islam, Terj. Djahdan Human.Yogyakarta: Kota Kembang , 1989.

Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.

Rofiq, Ahmad Choirul, Sejarah Peradaban Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2009.

Syalabi, Ahmad, Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Jaya Murni, tt.

http://hbis.wordpress.com/2008/12/16/perkembangan-islam-pada-masa-modern/   diunduh 17 november 2011

http://dakir.wordpress.com/2009/07/22/konsep-pendidikan-islam-turki-utsmani/  diunduh 17 november 2011

http://prilam.wordpress.com/2010/01/27/pembaharuan-dalam-islam/ diunduh 17 november 2011

http://pakistanwala.blogspot.com/2007/07/militansi-dan-madrasah-di-pakistan.html diunduh 17 november 2011

 

file: 2/15/2012  12:50 PM

Tinggalkan komentar